IDENESIA.CO - Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sangat merugikan pekerja dikarenakan sejumlah pasal ketenagakerjaan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah diterbitkan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Pemerintah mengklaim penerbitan Perppu Cipta Kerja mendesak dilakukan untuk mengantisipasi kondisi global seperti resesi global, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi.
Selain itu, pemerintah juga mengklaim penerbitan Perppu tersebut sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 38/PUU-VII/2009.
Padahal Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan organisasi masyarakat sipil atas uji formil terhadap Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja pada 25 November lalu. Dalam putusan, majelis hakim MK menyebut, UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dengan keputusan ini, pemerintah tidak bisa mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas terkait UU Cipta Kerja. MK juga memberikan kesempatan kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU selambat-lambatnya dua tahun.
Karena itu, melalui rilis yang diterima Kabar6 pada Rabu (11/01/2023), AJI Indonesia mengecam keputusan pemerintah yang terus mengabaikan partisipasi publik dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers dalam penerbitan Perppu ini.
“Perppu ini memiliki dampak yang besar bagi semua pekerja di Tanah Air, tidak terkecuali pekerja media,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito.
Menurut AJI Indeonesia, sejumlah pasal di klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja yang merugikan pekerja antara lain:
a. Pasal 156 yang mengatur tentang pesangon masih dipertahankan di Perppu Cipta Kerja. Ini artinya penghitungan pesangon tetap mengacu pada aturan turunan UU Cipta Kerja yakni Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam beberapa kasus PHK, PP ini merugikan pekerja media karena jauh lebih buruk dibandingkan UU Ketenagakerjaan.
b. Pasal 163 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dalam Perppu Cipta Kerja dihapus, sama dengan UU Cipta Kerja. Kedua pasal ini mengatur tentang hak buruh atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). Hal ini tentu merugikan pekerja media yang di-PHK karena mengurangi besaran pesangon yang semestinya didapatkan.
c. AJI Indonesia juga menemukan pasal-pasal terkait pengaturan alih daya, pekerja kontrak, pengaturan waktu kerja, dan cuti yang sama dengan UU Cipta Kerja. Praktik tentang ketentuan ini jamak ditentukan di dunia pers dan merugikan pekerja media. Sebagai contoh pekerja alih daya di televisi yang dikontrak hingga belasan tahun, dengan cara diperbaharui kontraknya setiap tahun dengan perusahaan yang berbeda.
Selain itu, AJI Indonesia juga menyoroti revisi Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dalam UU Cipta Kerja yang kemudian dipindahkan ke Perppu Cipta Kerja. Salah satunya tentang ketentuan yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran.
Perppu Cipta Kerja membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.
Perppu Cipta Kerja juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran.
Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.
Atas dasar ini, AJI Indonesia menyampaikan 2 sikapnya, pertama, menuntut Presiden Joko Widodo untuk mencabut Perppu Cipta Kerja yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada November tahun lalu. Apalagi pembentukan Perppu ini tidak melibatkan partisipasi publik.
Kedua, menuntut DPR untuk menolak Perppu Cipta Kerja yang telah merendahkan pilar-pilar negara hukum dan mengkhianati konstitusi negara Republik Indonesia. DPR sebagai wakil masyarakat tidak boleh menjadi alat atau stempel pemerintah yang jelas melanggar konstitusi.
(Redaksi)