IDENESIA.CO - Pulau Maratua, sebagai wisata bahari di Berau menjanjikan keindahan alam yang menakjubkan.
Pantainya yang putih dan kekayaan bawah laut yang menawan, menjadikan Pulau Maratua jadi pilihan menarik menghabiskan waktu libur.
Kekayaan sosial, Maratua juga punya sesuatu yang istimewa.
Menjadi salah satu pulau bermukim Suku Bajau, sebuah suku laut.
Maratua menyimpan kekayaan buaya yang turun temurun diwariskan oleh Suku Bajau.
Kala mengunjungi Pulau Maratua, penulis berkesempatan bertemu Barlianto (39 tahun). Ia seorang nelayan.
Berbeda dengan nelayan pada umumnya, Barlianto seorang anak laut, menjaga tradisi leluhur.
Menangkap ikan dengan cara dipanah.
Bakat menyelam dan menangkap ikan di malam hari ia dapat secara turun temurun dari keluarganya.
Sebuah budaya leluhur yang diturunkan kepadanya.
Barlianto, mulai belajar menjadi nelayan panah sejak usia 15 tahun. Ia dapat ilmu langsung dengan menemani sang ayah menangkap ikan.
"Usia 15 tahun sudah nyelam. Manah ikan sama orang tua dulu," ungkap ayah empat anak itu.
Penulis berkesempatan berbincang dengan Pak Barlianto di RT 01, Kampung Teluk Alulu, Maratua.
Rumahnya sederhana khas rumah-rumah nelayan.
Kami berbincang di pelataran rumahnya yang langsung menghadap laut. Indah sekali.
Barlianto lalu bercerita kegiatannya sehari-hari sebagai nelayan pemanah ikan.
Setiap hari, Barlian turun melaut pada malam hari, sekira pukul 20.00 Wita. Perburuannya baru berakhir kala dini hari.
Sekali berangkat mencari ikan, Barlianto biasa memperoleh tangkapan sekitar 3 kilogram.
Pulang ke darat, berbagai jenis ikan dibawa, tapi yang jadi primadona adalah ikan merah (Dapak), ikan putih (Pote), kerapu, dan ikan kakap.
Ia biasa menjual hasil tangkapannya ke Tanjung Redeb, Berau. Per kilogram ikan jual dengan harga Rp15 ribu.
"Berangkat habis Isya, pulang jam 3 subuh. Penghasilan Rp100 ribu - 200 ribu per hari," lanjutnya.
Kemampuan menyelam Barlianto jangan ditanya. Tanpa alat bantu pernafasan saat menyelam, ia mampu berada di bawah air hingga 3 menit.
Lagi-lagi, sambil tersenyum tipis, ia menyebut kemampuannya itu adalah berkah yang diwariskan nenek moyang.
"Turun temurun dari nenek moyang. Pakai senapan panah, dirakit sendiri oleh kalangan nelayan," tururnya.
Saat ini di Teluk Aruru, ada sekitar 30 nelayan yang menangkap ikan menggunakan panah.
Menurutnya, jumlah itu terus berkurang.
Pada era tahun 70an, di Kampung Teluk Aruru, lebih dari 100 nelayan melaut di teluk sekitaran Pulau Maratua.
Tidak ingin punah, kini sang anak dari Barlianto turut ikut serta ayahnya memanah ikan.
Ia berjanji pada dirinya, khasanah budaya ini akan dijaga, melestarikan cara hidup yang dipegangnya secara turun temurun.
Semoga lestari, semoga bertahan selamanya. (Er Riyadi)