Senin, 6 Januari 2025

"Brain Rot" Konsumsi Konten Receh Berlebihan: Buat Penurunan Fungsi Otak

Minggu, 29 Desember 2024 18:11

Ilustrasi otak . FOTO/iStockphoto

IDENESIA.CO - Istilah Brain Rot kini menjadi sorotan setelah terpilih sebagai Oxford Word of the Year 2024. Ini merupakan fenomena kekhawatiran akan dampak negatif konsumsi berlebihan konten online yang dianggap tidak menantang, tidak bermanfaat terutama di kalangan generasi muda seperti Gen Z atau Gen Alpha

Brainrot atau “pembusukan otak” adalah istilah yang menggambarkan suatu kegemaran yang berlebihan atau obsesi terhadap konten digital hingga menyebabkan “pembusukan” otak.

Sebenarnya, konsep ini  sudah ada sejak abad ke-19. Filsuf Amerika Henry David Thoreau pertama kali menggunakan istilah ini dalam bukunya Walden (1854) untuk mengkritik kecenderungan masyarakat yang lebih memilih hiburan kosong daripada kegiatan yang memperkaya pengetahuan.

Secara khusus, brain rot mengarah pada penurunan kemampuan otak dalam hal konsentrasi, daya ingat, serta kualitas pemikiran dan analisis. Gejala-gejalanya meliputi kesulitan fokus, penurunan kemampuan berpikir kritis, dan perasaan kurang puas terhadap kehidupan. Fenomena ini terutama terjadi akibat kebiasaan mengonsumsi media sosial secara kompulsif, menonton video secara berlebihan, dan terus-menerus memeriksa berita yang tidak relevan.

Penyebab utama brain rot adalah konsumsi media digital yang berlebihan, ditambah dengan stres dan pola pikir negatif. Efek dari kondisi ini sangat nyata, memengaruhi produktivitas, hubungan sosial, dan kesejahteraan emosional. Fenomena ini semakin relevan di era digital, di mana tantangan untuk mengelola informasi sangat besar.

Tanggapan Pakar Medsos dari Umsida 

Nur Maghfirah Aesthetika MMedKom, seorang pakar media sosial Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) mengatakan bahwa generasi yang paling banyak terjerat di fenomena brainrot ini adalah gen Z.

Menurut dosen yang akrab disapa Fira itu, generasi Z dan generasi selanjutnya adalah generasi yang didampingi oleh teknologi sejak lahir. Oleh karena itu, mereka tidak bisa dipisahkan dengan kemajuan teknologi.

“Kalau generasi milenial masih cenderung minim sekali menggunakan teknologi, saat itu media sosial juga belum ada. Hal ini berbeda dengan gen Z yang sejak lahir sudah dimanjakan dengan kehadiran teknologi,” ujar dosen Program Studi Ilmu Komunikasi itu.

Sehingga, imbuhnya, kebiasaan sehari-hari sudah bergantung pada gadget, dan mereka tidak mengenal hal lain seperti yang dirasakan generasi sebelumnya. 

“Kegiatan yang paling menyenangkan menurut mereka adalah bermain gadget, scrolling, menonton konten receh, itulah hiburan mereka. Kalau generasi sebelumnya, jika tidak ada hiburan, ya kita berinteraksi dengan lingkungan nyata dan bersosialisasi,” katanya.

Menurut alumni Ilmu Komunikasi Unair itu, wajar bila gen Z memilih gadget sebagai hiburannya, karena memang mereka tidak memiliki referensi kegiatan lainnya. Misalnya bermain bersama teman sebaya yang saat ini sudah sangat jarang ditemui.

Alasan Konten Receh Digemari 

Menurut Fira, walaupun hanya konten receh berdurasi pendek, tapi jika konten tersebut dinikmati secara berulang-ulang maka bisa menyerang psikis penggunanya dan masuk ke  alam bawah sadar.

“Saat ini orang menghabiskan waktu di dunia maya lebih dari satu jam dengan berbagai gempuran konten singkat di dalamnya. Hal itu membuat otak menjadi overload menerima informasi,” ujar dosen yang tengah mengenyam pendidikan doktor di Universitas Sebelas Maret itu.

Oleh karena itulah konten For Your Page (FYP) setiap orang berbeda-beda. Menurut Fira, algoritma media sosial bisa membaca ketertarikan pengguna, konten telah disesuaikan oleh kondisi pengguna hingga mereka merasa relate dan bertahan di konten serupa.

“Misalnya kondisi seseorang sedang sedih dan menemukan konten yang relevan dengan suasana hati, maka dengan konten itu ia merasa lebih semakin sedih dan deep,” jelasnya. 

Jangan Scrolling Sebelum Tidur

Fira mengatakan bahwa scrolling konten media sosial bukanlah cara agar cepat tidur seperti yang kerap dilakukan generasi saat ini.

Justru dengan begitu, konten lebih mudah masuk ke alam bawa sadar, apalagi kebanyakan anak muda melakukan hal itu saat malam hari. Padahal di waktu tersebut, konten lebih mudah mempengaruhi cara berpikir seseorang.

“Jadi semakin kita scrolling konten itu, maka semakin sulit kita untuk tidur dan lalai akan waktu,” jelas kaprodi Ilmu Komunikasi tersebut.

Cara Mengatasi Brainrot

Ternyata, brainrot ini masih bisa diatasi. Menurut Fira, fenomena ini bisa dicegah menggunakan kontrol diri.

Yang pertama yakni dengan mengatur waktu antara scrolling time dan kapan gadget itu harus ditaruh. Ia memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya, seperti memisahkan aplikasi  media sosial yang rentan menimbulkan kecanduan dan menyembunyikan notifikasi.

Yang kedua yakni mematuhi peringatan jam tidur pada gadget. Biasanya, gadget memiliki fitur sebagai pengingat istirahat,  hal itu harus dipatuhi. Dan yang ketiga adalah tahu waktu.  

Seperti, mematikan gadget ketika berkumpul dengan orang-orang. Ini berhubungan dengan etika,  jangan  sampai ketika mengobrol dengan orang sambil memainkan gadget, apalagi scrolling. Karena menurut Fira, itu bisa menjadi distraksi obrolan dan  lawan bicara merasa tidak didengarkan. 

Jadi, teman-teman pembaca semua berupayalah kontrol diri dan mengisi waktu dengan berbagai kegiatan positif karena 1 menit waktu atau 1 detik bahkan ketika waktu dihabiskan untuk scrolling konten receh bisa digunakan untuk kegiatan bermanfaat lainnya, seperti kata pepatah " waktu adalah uang". 

(Redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat