IDENESIA.CO -- Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) yang menyeret tujuh tersangka berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap stabilitas energi nasional.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp197 triliun.
Adapun tujuh tersangka yang ditetapkan adalah:
1. RS, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
2. SDS, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
3. YF, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
4. AP, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
5. MKAN, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
6. DW, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
7. GRJ, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
"Itulah tujuh tersangka yang telah ditetapkan oleh penyidik pada malam hari ini berdasarkan alat bukti yang cukup," ucap Abdul Qohar konfernsi pers, di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, dikutip Selasa (25/2/2025).
Ekonom energi dari Institute for Energy Studies, Budi Hartono, mengungkapkan bahwa praktik korupsi dalam pengelolaan impor minyak mentah dan produk kilang dapat mempengaruhi harga BBM di dalam negeri.
“Dengan adanya manipulasi harga impor, masyarakat menjadi korban dari kebijakan harga yang tidak transparan, yang berpotensi meningkatkan beban subsidi dan harga BBM di pasaran,” ujarnya pada Selasa (25/2/2025).
Selain itu, kasus ini juga menimbulkan kekhawatiran akan ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah. Data menunjukkan bahwa selama periode 2018-2023, produksi minyak dalam negeri cenderung stagnan, sedangkan kebutuhan konsumsi terus meningkat. Korupsi dalam sektor ini dinilai menghambat optimalisasi produksi minyak dalam negeri, memperbesar defisit energi, dan meningkatkan risiko krisis energi jika impor terganggu.
Pengamat kebijakan publik, Dewi Suryani, menyoroti dampak kasus ini terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintah dan BUMN energi.
“Masyarakat sudah terbebani dengan kenaikan harga energi, dan kasus ini semakin menambah ketidakpercayaan terhadap pengelolaan sumber daya energi nasional,” jelasnya.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan melakukan evaluasi terhadap mekanisme pengadaan dan distribusi minyak mentah agar kasus serupa tidak terulang.
“Kami akan memperketat regulasi dan pengawasan dalam setiap proses pengadaan dan impor minyak untuk memastikan transparansi serta efisiensi,” ungkap perwakilan ESDM dalam konferensi pers.
Dampak dari kasus ini masih akan terus berkembang, dengan investigasi yang tengah berlangsung. Masyarakat berharap agar proses hukum berjalan transparan dan para pelaku yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya demi kepentingan energi nasional yang lebih baik
Kerugian sekitar Rp197 T tersebut bersumber dari berbagai komponen; kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri,kerugian impor minyak mentah melalui demut atau broker, kerugian impor BBM melalui demut atau broker, kerugian pemberian kompensasi, dan kerugian karena pemberian subsidi karena harga minyak tadi menjadi tinggi.
Perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 2, Ayat 1, Junto Pasal 3, Junto Pasal 18, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Undang-Undang Pemberatasan Tidak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55, Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(Redaksi)