Biosecurity merupakan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk mencegah masuk atau menyebarnya penyakit dari luar ke dalam peternakan. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pencegahan kontak langsung antara babi yang sehat dan sakit (isolasi), kegiatan karantina babi impor sebelum disatukan dalam kandang, menjamin keamanan pakan babi, selalu menjaga sanitasi kandang dan sarang caplak, segera memusnahkan babi yang mati akibat penyakit ASF, melakukan vaksinasi untuk menjaga kesehatan babi secara teratur, membatasi orang yang masuk dalam peternakan, selalu mencuci tangan dan membersihkan alas kaki dengan desinfektan sebelum memasuki kandang serta menerapkan pengawasan yang ketat dan intensif.
- Pengendalian perbatasan
Pembatasan pergerakan babi hutan dan vektor alami virus ASF merupakan hal yang sulit dilakukan, salah satu cara paling efektif yang dapat dilakukan adalah dengan menutup akses dan melindungi peternakan dari satwa liar. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun pagar pembatas. Pagar ini berfungsi untuk menutup akses kontak langsung antara babi liar dengan babi domestik, menutup akses pembuangan sisa makanan, sampah dan bangkai yang terkontaminasi. Pagar pembatas dirancang dengan tinggi 1,8 meter dengan tambahan 50 cm masuk ke dalam tanah untuk mencegah terbukanya akses melalui penggalian tanah oleh babi. Cara ini mungkin saja sulit diterapkan oleh peternak skala kecil karena keterbatasan dana. Kegiatan lain seperti perburuan terkontrol, pemberian pakan tambahan bagi babi hutan, pembangunan zona kontrol, hingga penerapan biosecurity bagi pemburu mungkin saja dapat diterapkan dengan pertimbangan trade-off dari masing-masing opsi.
Peningkatan kesadaran akan ancaman penyakit ASF.
Pengngkatan kesadaran akan pentingnya keamanan hayati sejalan dengan adanya respon cepat terhadap laporan kasus ASF merupakan suatu upaya deteksi dini terbaik mengingat sulitnya melakukan pembatasan pergerakan babi hutan. Melalui penyediaan informasi, bantuan teknis dan pelatihan, semua pemangku kepentingan dapat memahami perannya dan berkolaborasi secara lintas sektoral untuk mencegah, mengendalikan dan mengawasi penyebaran ASF di Indonesia. Melalui kolaborasi ini, laporan kasus ASF akan lebih cepat direspon. Pendampingan kepada pemburu, peternak, individu hingga akses cepat untuk berkomunikasi dengan dokter hewan dan pemangku kepentingan lain akan sangat membantu dalam penanganan kasus ini.
Kematian babi yang mencurigakan di lapangan dapat dilaporkan oleh pemburu, pendaki, pengelola hingga masyarakat, tentunya setelah mereka diberi pelatihan mengenai gejala klinis dan bahaya ASF.
Hal ini akan lebih membantu dalam penemuan kasus di daerah berisiko tinggi. Teknis pelaporan, pengambilan sampel, investigasi dan respon penanganan serta pemusnahan sampel akan menjadi lebih mudah melalui kolaborasi ini.
Hal yang perlu dilakukan saat menemukan bangkai yang mencurigakan di lapangan antara lain mencatat data satwa (jumlah, umur, jenis kelamin, lokasi dan lainnya), memastikan sterilisasi alat pelindung diri, inspeksi oleh petugas, pengambilan sampel dan investigasi wabah (dari siapa saja pemburu, tipe pengelolaan kawasan, biosecurity yang diterapkan dan populasi babi domestik di sekitar lokasi temuan).
Sumber:
Beltrán-Alcrudo, D., Arias, M., Gallardo, C., Kramer, S. dan Penrith, M.L. 2017. African Swine Fever: Detection and Diagnosis – A Manual for Veterinarians. FAO Animal Production and Health Manual No. 19. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). Rome.
Winarso, A., Nur H. dan Siti R. 2019. Ancaman African Swine Fever Masuk ke Wilayah Indonesia melalui Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional VII Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Nusa Cendana Swiss Bel-inn Kristal. Kupang.
(Redaksi)