Minggu, 6 Oktober 2024

Sejarah Indonesia

Menguak Akar Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia, Sudah Ada Sejak Masa Kerajaan Nusantara

Mengenal Mangilala Drwya Haji, Petugas Pajak Abad ke-9

Kamis, 13 Januari 2022 21:1

Ilustrasi korupsi sejak masa kerajaan Nusantara. (Net)

IDENESIA.CO - Praktik korupsi di Indonesia tak akan ada habisnya.

Baru-baru ini kepala daerah Penajam Paser Utara (PPU), Abdul Gafur Masud alias AGM.

Mati satu tumbuh seribu, begitulah gambaran praktik korupsi di Indonesia.

Bupati PPU, AGM tersebut masuk daftar hitam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terjerat korupsi di Kalimantan Timur.

Ya, AGM merupakan kepala daerah termuda di Indonesia yang memimpin kabupaten di Kaltim yang jadi lokasi ibu kota negara (IKN) baru.

Bersama 10 orang lainnya kini AGM diamankan KPK untuk diproses lebih lanjut.

Namun, bila menelisik lebih dalam praktik korupsi sudah terjadi bahkan saat Indonesia masih merupakan kerajaan Nusantara.

Mari menguak akar sejarah panjang korupsi di Indonesia, sudah ada sejak masa kerajaan Nusantara.

Mari mengenal Mangilala Drwya Haji, petugas pajak abad ke-9.

Namun, sejarawan alumnus Universitas Indonesia, Hendaru Tri Hanggoro, menyatakan, jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf.

Kelompok petugas pajak yang disebut mangilala drwya haji ini disebut dalam prasasti awal abad ke-9 pada tahun 741 Caka atau 819 Masehi dalam buku Peradaban Jawa karya Supratikno Raharjo.

Sejarawan Onghokham dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong juga menyoal petani yang sering menjadi sasaran penyelewengan para mangilala drwya haji.

Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa.

Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 persen hasil panennya dan diduga juga hanya 20 persen yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda).

Selebihnya 60 persen hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten.

Ironi lainnya adalah semasa penjajahan, sejarawan Universitas Paramadina, Hendri F Isnaeni mengatakan, ketika kelompok oposisi dan nasionalis Syarikat Islam (SI) pecah menjadi SI dan SI Merah yang kelak menjadi Partai Komunis Indonesia, terjadi saling tuding korupsi.

Sejarawan Yayasan Nation Building, Didi Kwartanada, menceritakan, salah satu teori genealogi korupsi Indonesia modern berasal dari masa pendudukan militer fasis Jepang.

Didi, mengutip sejarawan National University of Singapore, Syed Hussein Alatas, mengklaim kekuasaan Jepang yang militeristik mempekerjakan aparatur lokal yang berkemampuan rendah dan serakah.

Akibatnya, korupsi, pasar gelap, dan pelbagai penyimpangan terjadi secara marak meski jika ketahuan akan dihukum keras pihak Jepang.

Akhirnya mereka dan sistem yang sudah rusak itu turut berkuasa pada era Republik Indonesia pasca 1945.

VOC Ajari Masyarakat Korupsi

Teori mengenai genealogi korupsi di Kepulauan Nusantara memang beragam.

Versi paling populer adalah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Kompeni Dagang Hindia Belanda) mengajari masyarakat untuk korupsi di segala bidang.

Bahkan, ada ejekan yang menyebut VOC, perusahaan multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke abad ke-19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi)

Korupsi Orde Lama

Sejak Indonesia merdeka, pasca 1945, korupsi juga telah mengguncang sejumlah partai politik.

Sejarawan Bonnie Triyana menceritakan, skandal korupsi menimpa politisi senior PNI, Iskaq Tjokrohadisurjo, yang adalah mantan Menteri Perekonomian di Kabinet Ali Sastroamidjojo I.

Kasus tersebut bergulir 14 April 1958.

Kejaksaan Agung yang memeriksa Iskaq memperoleh bukti cukup untuk menyeretnya ke pengadilan terkait kepemilikan devisa di luar negeri berupa uang, tiket pesawat terbang, kereta, dan mobil tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN).

Iskaq akhirnya mendapat grasi dari Presiden Soekarno.

Namun, mobil Mercedes Benz 300 yang diimpornya dari Eropa tetap disita untuk negara.

Kasus lain adalah Menteri Kehakiman Mr Djody Gondokusumo (menjabat 30 Juli 1953-11 Agustus 1955) yang tersandung perkara gratifikasi dari pengusaha asal Hongkong, Bong Kim Tjhong, yang memperoleh kemudahan memperpanjang visa dari Menteri Kehakiman.

Visa tersebut ternyata dibayar dengan imbalan Rp 20.000. Jaksa Agung Muda Abdul Muthalib Moro menduga uang pemberian pengurusan visa tersebut digunakan untuk membiayai Partai Rakyat Nasional pimpinan Djody.

Partai besar lain, yakni Masyumi, juga terseret korupsi. Pada 28 Maret 1957, politisi Masyumi, Jusuf Wibisono, ditahan tentara di Hotel Talagasari, Jalan Setiabudi, Bandung, karena diduga terlibat korupsi.

Bonnie Triyana mengutip harian Suluh Indonesia, 20 April 1957, menceritakan, Hotel Talagasari dipenuhi tersangka korupsi.

Terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan lain-lain.

Yang diperiksa mencapai 60 orang. Periode 1950-1965 tersebut memang dipenuhi gonjang-ganjing korupsi dan pemberontakan.

Deskripsi tentang kehidupan penguasa dan politisi korup pada zaman itu bisa dibaca jelas dalam novel Senja di Jakarta karya wartawan senior Mochtar Lubis.

Korupsi Orde Baru

Sesaat setelah berkuasa, Soeharto segera melakukan sejumlah upaya melawan korupsi.

Soeharto pada 2 Desember 1967 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 228–1967 dan berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1960 membentuk Tim Pemberantasan Korupsi dengan Ketua Jaksa Agung Sugih Arto.

Tim ini bertugas membantu pemerintah memberantas korupsi dengan tindakan preventif dan represif.

Berselang empat tahun, dibentuk Komisi Empat dengan Keppres Nomor 12 tanggal 31 Januari 1970 dengan anggota Wilopo, SH (ketua merangkap anggota), IJ Kasimo, Anwar Tjokroaminoto, Prof Ir Johannes, dan Mayjen Sutopo Yuwono (perwira intelijen militer didikan Barat).

Selanjutnya ada Komite Anti Korupsi pada tahun 1970 yang menghimpun aktivis angkatan 1966 guna memberikan dukungan moril kepada pemerintah dan tokoh-tokoh nasional untuk memberantas korupsi yang semakin merajalela.

Waktu itu, pemerintahan Soeharto baru berusia empat tahun! Pada tahun 1977 dibentuk Operasi Tertib (Opstib) dalam Inpres Nomor 9 Tahun 1977 dengan koordinator Menpan dan pelaksana operasional Pangkopkamtib.

Langkah terakhir Orde Baru memberantas korupsi adalah Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1982.

Hendri F Isnaeni menilai, lima lembaga anti korupsi Orde Baru jauh dari maksimal. ”Seolah-olah ada perhatian pemerintah terhadap pemberantasan korupsi.

Kenyataannya, tim itu hanya bekerja untuk memberikan masukan kepada penguasa soal pemberantasan korupsi.

Salah satunya Tim Empat yang dipimpin mantan Perdana Menteri Wilopo.

Kalau ada kasus yang harus diselidiki, tidak pernah ditindaklanjuti,” kata Hendri. Lembaga-lembaga tersebut tidak berwenang menindak.

Tidak pula dibangun sinergi dan pembenahan lembaga permanen seperti Polri dan Kejaksaan Agung.

Korupsi yang tumbuh subur semasa Orde Baru, lanjut Hendri, membuktikan pemberantasan korupsi tidak berjalan efektif. Saat ini pemerintahan Joko Widodo memiliki banyak instrumen pemberantasan korupsi, seperti kejaksaan, Polri, juga Komisi Pemberantasan Korupsi(redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat