IDENESIA.CO - Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara telah sejak zaman lawas dikenal sebagai daerah penghasil minyak bumi yang masyur.
Jauh sebelum sumur minyak ditemukan, Sangasanga telah ditemukan namanya pada catatan abad ke-13.
Tercatat rapi di kitab Salasilah Kutai, ada sebuah daerah bernama Sanga-Sangaan di daerah wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara. (Tata Ruang Kota Kolonial di Sanga Sanga, 2010, jurnal, hlm 60).
Penemuan sumber minyak bumi ditemukan pada tahun 1897 di Sangasanga.
Penemuan sumber minyak itu, setelah pada tahun 1888, Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Sulaiman mengikuti pertemuan Jacobus Hubertus Menten, perwakilan pihak Pemerintah Hindia Belanda.
Hasil pertemuan itu, Hindia Belanda berhak meneliti, mengeksplorasi, dan mengeksploitasi minyak bumi dan batu bara di Kaltim (Batu Bara Indonesia, 2014, hlm 37).
Salah satu penghasil minyak bumi, Sangasanga menjadi seksi untuk direbutkan, terbukti pada periode Perang Dunia II, pihak Belanda berjuang keras mempertahankan Sangasanga dari pihak Jepang.
Kisah heroik para pejuang Indonesia, turut bergema di langit Sangasanga.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada 17 Agustus 1945, pihak Belanda masih berada di Nusantara.
Mereka tidak angkat kaki.
Melalui Agresi Militer I, belanda berhasil menguasai sumber daya alam Indonesia, termasuk sumur-sumur minyak di Sangasanga.
Perjuang Indonesia di Kaltim tidak tinggal diam, pertempuran terjadi pada akhir Januari 1947.
Aksi heroik para pejuang itu dikenal dengan "Peristiwa Merah Putih", yang dirayakan tiap tanggal 27 Januari.
Walaupun pertempuran masih berlangsung hingga bulan-bulan selanjutnya.
Muhammad Sarip, Sejarahwan Kaltim, melalui bukunya berjudul: Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan: Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara, menulis runut pertempuran Sangasanga.
Dalam tulisan Sarip, sejak penemuan sumber minyak pada 1897 di Sanga-sanga dan berevolusi menjadi kota industri.
Belanda pun banyak membangun dermaga dan bangsal-bangsal di kawasan selatan wilayah Kesultanan Kutai, yang masih banyak berdiri hingga sekarang.
Pada tahun 1939, Sangasanga memiliki 7 dermaga, 613 sumur minyak, dengan produksi 70 ribu ton minyak per bulan.
Januari 1947, Barisan Pejuang Republik Indonesia (BPRI) berencana mengambil alih ladang-ladang minyak Belanda, di daerah yang kini masuk pesisir Kukar itu.