Banyak dari rakyat Sanga-sanga yang gugur akibat tembakan dari Kapal Fregat Zeearend.
Kepal pemburu Semeru disertai dua landing craft bekal milik Jepang mendaratkan pasukan di Muara Sangaasanga.
Pertempuran sengit berlangsung sekitar delapan jam. Sebanyak 350 tentara Belanda dengan senjata baru melawan sekitar 200 pejuang dengan senjata minim.
Tanggal 29 Januari 1947 sore hari. Pertempuran berakhir, Sangasanga kembali jatuh ke genggaman Belanda.
Para pejuang tersisa dipukul mundur ke hutan. Mereka berpencar.
Sangasanga mencekam hingga Februari 1947. Pembantaian terjadi oleh pihak KNIL kepada rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis dan mendukung gerakan ekstrimis.
Kala itu, para pejuang Indonesia disebut ekstrimis oleh pihak Belanda.
Boediono eks KNIL yang pindah haluan mendukung para pejuang Indonesia berhasil ditangkap.
Boediono dieksekusi mati pada 17 Maret 1947.
Setelah Boediono gugur, Sultan Aji Muhammd Parikesit bertandang ke Sangasanga, bertemu pihak Belanda.
Tidak diketahui pembahasan apa yang dilakukan Sultan Kutai dengan Belanda.
Namun usai kunjungan itu seluruh tawanan diangkut ke kapal Belibis, ke Samarinda dan Balikpapan untuk diadili.
Para pejuang Sangasanga tersisa bergerak ke Kampung Jembayan, menemui pasukan pejuang yang dipimpin Asyikin dan Johan Massa'el.
Pihak Belanda mengetahui pergerakan itu.
Militer Belanda bergerak ke Loa Kulu dipimpin Kapten Marinus, menghalai pergerakan pejuang di Jembayan.
Para pejuang di Jembayan sudah meninggalkan tempat, mereka menyingkir ke Embalut, lalu meneruskan perjalanan ke Desa Sebulu.
Dari Sebulu, pasukan pejuang lalu bergerak kembali ke Muara Kaman.
Di Muara Kaman, pejuang Sangasanga dan Jembayan bergabung dengan pasukan pimpinan Muso Salim, lalu kembali berjuang melawan Belanda secara bergerilya. (Er Riyadi)