Muhammad Natsir adalah seorang pemikir, pejuang, cendekiawan, ulama, diplomat, ahli politik, ahli ekonomi kelahiran Minangkabau, Sumatera Barat, 1908.
Pada sisi lain, Muhammad Natsir adalah seorang pemikir dan penulis yang produktif. Beliau mengawali kegiatan tulis-menulis sejak sekolah menengah.
Dalam buku 'Meninjau Sejarah Kisah Hidup Muhammad Natsir' dituliskan selama di Bandung, Natsir sering menghadiri musyawaratan umum Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno. Natsir menaruh minat kepada gerakan PNI yang selalu berusaha mengkritik penjajahan Belanda dan menuntut Indonesia Merdeka. Namun beliau tidak suka
dengan sikap PNI yang, menurutnya selalu mencemoohkan aturan-aturan Islam.
Pada masa inilah Muhammad Natsir banyak menulis tentang Islam dan politik. Tulisan yang lahir sebagai akibat dari fase konfrontasi yang panjang antara Natsir dan Soekarno.
Soekarno menulis dengan tajuk antara lain "Memudahkan Pengertian Islam", "Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara", "Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Terbang", dan "Islam Sontoloyo". Muhammad Natsir menjawab tulisan ini secara langsung. Antara lain beliau menulis dengan tajuk "Apa yang menyebabkan Turki Memisahkan Agama dari Negara" (1940). Kemudian tulisan ini ditulis secara bersambung dengan tajuk "Persatuan Agama dan Negara".
Termasuk salah satu tokoh pendiri partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi sendiri berdiri berdasarkan keputusan muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta pada
Sutan Syahrir adalah salah satu pejuang kemerdekaan, intelektual dan pemikir. Ia sosok pemberani, sangat anti-Jepang. Sosoknya yang pemberani dan tidak takut akan sebuah perbedaan ini, sangat berperan dalam tercapainya kemerdekaan Indonesia, terutama dalam jalur diplomasi.
Berkatnya, Indonesia mendapat pengakuan dari dunia internasional, melalui jalur diplomasi. Ia adalah negarawan humanis dan seorang demokrat sejati. Ada banyak hal pula yang dapat diteladani dari sosok Sutan Syahrir ini.
Sutan Syahrirlah yang mendesak Sukarno dan Mohammad Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaaan Indonesia pada 15 Agustus 1945. Ddesakan itu juga didukung oleh para pemuda ketika itu.
Saat Sukarno-Hatta menolak, kaum muda ketika itu menculik Sukarno dan Mohammad Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 guna menjauhkan dari pengaruh Jepang dan mendesak agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Sutan Syahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan 'melek' huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat). Syahrir juga merupakan perdana menteri pertama RI dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Dia juga adalah pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada 1948.
Soejatmoko Juga dikenal dengan nama panggilan Bung Koko adalah seorang intelektual, diplomat, dan politikus Indonesia.
Soedjatmoko bersama dua pemuda lain dikirimkan ke Lake Success, New York, Amerika Serikat untuk mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1947, demikian dalam laman Universitas Krisna Dwipayana (Unkris). Bung Koko bersama beberapa tokoh Delegasi RI mengikuti saling berargumentasi tentang pengakuan Indonesia oleh negara lain di PBB.
Menjelang kesudahan masanya di New York, Soedjatmoko masuk di Littauer Center milik Harvard karena pada ketika itu dia sedang adalah proses delegasi PBB, dia harus pulang-pergi selang New York dan Boston selama tujuh bulan masa kuliahnya. Sesudah dibebastugaskan dari delegasi, Soedjatmoko menghabiskan hampir satu tahun di Littauer Center.
Namun, kuliahnya itu terganggu ketika selama tiga bulan dia menjadi chargé d'affaires-yang pertama untuk Indonesia-di proses Hindia-Belanda di Kedutaaan Besar Belanda di London, Inggris. Dia menjabat sementara selagi kedutaan besar Indonesia diwujudkan.
Sempat bersitegang dengan Sukarno karena tak setuju kepemimpinannya yang otoriter dan menolak kebijakan Demokrasi Terpimpin. Di masa ini Soedjatmoko kembali ke AS dan menjadi dosen di Universitas Cornell di Ithaca, New York.
Di era Soeharto, Soedjatmoko malang melintang di bidang diplomasi, menjadi Delegasi RI di PBB hingga jadi Dubes RI untuk AS. Namun Bung Koko tetap kritis pada kebijakan Orba.
Sempat menjabat Rektor Universitas PBB di Jepang dari tahun 1980-1987. Bung Koko tutup usia pada 21 Desember 1989 saat menyampaikan kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta karena serangan jantung.
(Redaksi)