Artinya punya hak penuh dalam pengelolaan keuangan dan perekrutan tenaga dosen dan tendik, yang waktu itu dilakukan dengan porsi minimal 70:30 sebagai perwujudan sebuah studi yang sudah dilakukan di banyak institusi tentang syarat tegaknya sebuah institusi.
Mulai dari bayar listrik, bayar tenaga keamanan (satpam), air, renovasi fasilitas fisik, penggajian tendik dan dosen, pengembangan institusi semua atas dasar kemandirian, yang tidak semua fakultas sanggup dan berani melakukannya.
Dalam awal pendiriannya Kun pernah mengatakan tidak ingin di SBM terjadi re-bleeding dengan rekrut dosen dari satu institusi asal saja, bayangan Kun adalah 40 persen dosen dari dalam negeri dan 60 persen dari luar negeri sehingga nantinya dosen internal akan menjadi minoritas untuk menghela institusi menjadi berkelas dunia.
Sebagai referensinya adalah Universitas di Singapura, NUS dan NTU dan Chulalongkorn di Thailand, yang langsung teken kontrak dengan universitas di Amerika.
Perangkat dan SDM disiapkan selama 10-20 tahun di dalam negeri sebelum dilepas landas, seperti universitas di negara tetangga, terutama Singapura yang sudah masuk dalam 50 besar dunia saat ini dalam perangkingan berbagai lembaga seperti Shanghai Jia Tong, Webometrics, Times Higher Education, dan sebagainya.
Sayang birokrasi di Indonesia belum memungkinkan hal yang ekstrim dan langkah radikal semacam itu dilakukan.
Namun di tengah keterbatasan tersebut, Kun membawa SBM berkembang melesat cepat, dengan berbagai program studinya dan menjadi nomor 1 di Indonesia bahkan mendapatkan akreditasi internasional AACSB, di mana hanya 6 persen sekolah di dunia bisa mendapatkannya.
Hal ini terutama karena terpaterinya values yang diyakini dan diterapkan dari para pendiri dan pengikutnya kemudian, yaitu integritas dan komitmen bahwa kuliah adalah sakral sehingga dosen tidak bisa seenaknya mengubah jadwal atau kosong atas nama kepentingan pribadi. Selain juga penerapan fairness dalam mekanisme pengajaran dan penilaian yang dilakukan.
Masih banyak lagi hal yang Kun tinggalkan bagi perkembangan nusa, bangsa, dan ITB. Yang terpenting di antaranya adalah 'Walk the Talk', apa yang kau bicarakan harus sama dengan apa yang dilakukan, sehingga orang mengenalnya sebagai pribadi yang bersih dan selalu menorehkan warisan yang baik bagi institusi yang dikelolanya.
Datang tampak muka, pulang tampak punggung, dengan berjalan tegak menuju dan pamit dari institusi. Ini dadaku, mana dadamu. Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Ungkapan bahasa Jawa yang maknanya kurang lebih: "Keberanian, kedigdayaan dan kekuasaan dapat dikalahkan dengan panembah. Segala sifat angkara, lebur dengan kesabaran dan kelembutan."
Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara. Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak.
Pepatah Jawa yang masih digenggam orang Jawa yang belum hilang rasa Jawanya, yang dicontohkan orang-orang Purwokerto dan Banyumasan seperti Panglima Besar Soedirman, Soesilo Sudarman, Soeparjo Rustam dan Kun sendiri yang berasal dari kampung halaman yang sama.
Kun adalah family man, seperti prinsip pemilihan Presiden Amerika Serikat sebelum Donald Trump, bahwa pemimpin dipilih dari keutuhan dan keharmonisan keluarga yang dibinanya.
Jika tak bisa mengatur keluarga sebagai satu organisasi terkecil, bagaimana bisa mengelola sebuah institusi atau negara?
Dengan seorang istri yang selalu menyertai perjalanannya dalam berbagai acara keorganisasian dan lima putra laki-laki, seperti Pendawa Lima, Kun melangkah dengan tegap menatap dengan optimisme setiap masa depan yang menyambutnya.
Terima kasih Pak Kun atas jasamu bagi negeri ini, semoga Allah memberikan tempat terbaik bagimu.
(Redaksi)