Minggu, 7 Juli 2024

Program Hilirisasi, Benarkah Untung Besar bagi Indonesia ?

Sabtu, 27 Januari 2024 22:15

POTRET - Hilirisasi contohnya tambang di Batu Bara./ Foto: Istimewa

Indonesia Untung Dengan Adanya Hilirisasi ?  
 
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menegaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor biji nikel yang sudah dilakukan pemerintah sejak 2020 lalu telah berhasil menguntungkan pemerintah 30 miliar USD atau setara dengan 450 triliun rupiah dengan asumsi kurs 15 ribu rupiah per US dolar.

Bahlil menjelaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor biji nikel yang sudah diterapkan sejak 2020 telah berdampak positif pada perekonomian Indonesia.
 
Anggota komisi 7 DPR RI Mulyanto. Ia meminta pemerintah mengevaluasi total program hilirisasi nikel yang berlangsung selama ini. Mulyanto menduga bahwa program ini hanya menguntungkan para investor asing tapi merugikan negara. 

Pasalnya produk smelter berupa MPI ini mendapat banyak insentif mulai dari pembelian biji nikel di bawah harga internasional, bebas pajak PPN, dapat tax holyday, bebas PPH badan, bebas keluar pajak ekspor, kemudahan mendatangkan peralatan mesin atau barang bekas pakai, kemudahan mendatangkan TKA dan lain-lain.
 
Pakar ekonomi Faishal Basri juga mengkritisi kebijakan hilirisasi ini pada realitas di lapangan justru lebih banyak menguntungkan Cina sebagai negara penopangnya.

Hilirisasi nikel yang mencapai ratusan triliun tidak dirasakan masyarakat sepenuhnya sebab hanya menguntungkan pengusaha besar. Bahkan salah satunya devisa hasil ekspor disimpan diluar negeri. 

“Kita hilirisasi malah menopang industrialisasi China,” tambahnya sebagaimana dikutip dari CNBC.

Dibandingkan keuntungan ekonomi yang didapat saat ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan, justru memberikan kerugian yang lebih parah. Pada akhirnya Indonesia hanya gigit jari tidak mendapatkan apa-apa.
 
 AS dan China Saling Berebut Nikel 

Pengamat politik ekonomi Zikra Asril mengatakan, Indonesia menjadi perebutan dua kepentingan negara besar.
 
“Liberalisasi perdagangan sudah meletakkan Indonesia di tengah perebutan komoditas strategis dunia, seperti nikel dalam dua kepentingan negara besar, yakni AS bersama sekutunya dan China bersama BRICS,” tuturnya sebagaimana dikutip dari MNews, Rabu (5/7/2023).
 
Menurutnya investor China, yaitu Tsingshan Holding telah menguasai 90 persen tambang nikel. Strategi Cina agar bisa mendapatkan IUP (izin usaha pertambangan), mereka bekerja sama dengan investor domestik, salah satunya melalui Harita Group. Kekuatan investasi Cina telah membuat Indonesia harus tunduk kepada China.

Halaman 
Tag berita:
IDEhabitat