Nama sastrawan besar melayu, Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau, menjadi yang pertama mencatatjan sastra lisan pantun ke dalam tradisi tulis.
Pantun-pantun itu ditertulis rapi dalam buku berjudul Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu, ditulis pada tahun 1877.
Dengan rima yang khas, pantun sering kali dinyatakan dalam ungkapan tradisional seperti teka-teki, petuah, dan pemanis komunikasi.
Pada mulanya pantun merupakan senandung atau puisi rakyat yang dinyanyikan (Fang, 1993 : 195).
Kembali ke era saat ini.
Kaltim dengan mayoritas melayu di dalamnya, menjadikan pantun berada di bagian hati masyarakatnya.
Bahkan para pejabat di Bumi Mulawarman ini menyisipkan pantun di akhir pidatonya. Pantun menjadi menu pemanis menutup pidato, dengan kesan santai dan ramah.
Pemerintah Provinsi Kaltim, bahkan memiliki bagian tersendiri khusus membuat pantun dalam tiap lembar pidato yang akan dibacakan pejabatnya.
Mereka berasal dari latar sastrawan dan penulis.
"Ada harapan dari pemerintah pusat dulu, agar pemerintah daerah membudayakan pantun sebagai khasanah budaya bangsa Indonesia," ungkap Muhammad Syafranuddin, Kepala Biro Adpim Setprov Kaltim.
Budaya pantun tetap dipertahankan, kaitannya sebagai bentuk pelestarian budaya melayu di Indonesia.