Krisis serupa juga mulai dirasakan oleh Korea Selatan, yang angka kelahirannya menurun drastis hingga menjadi yang terendah di dunia. Begitu pula dengan China, yang meskipun telah mengubah kebijakan satu anak, tetap menghadapi tantangan dalam mendorong pasangan muda untuk memiliki lebih banyak anak.
Pemerintah Jepang menyadari dampak besar dari krisis ini dan telah meluncurkan berbagai kebijakan untuk merangsang angka kelahiran, termasuk memberikan insentif finansial, memfasilitasi akses kepada layanan anak, dan memperkenalkan kebijakan keseimbangan pekerjaan dan kehidupan. Namun, meskipun ada upaya untuk memperlambat penurunan ini, hasilnya masih terbatas.
Mengingat prediksi yang semakin mendekat, para ahli seperti Yoshida mengingatkan bahwa kesadaran akan bahaya penurunan populasi yang cepat ini harus menjadi prioritas. Tanpa adanya perubahan signifikan dalam kebijakan dan pola hidup masyarakat, krisis ini mungkin tidak bisa terhindarkan, dan negara-negara tersebut akan menghadapi konsekuensi yang lebih besar di masa depan.
Ketika negara-negara ini bergerak maju, penting bagi mereka untuk merenungkan solusi jangka panjang yang tidak hanya melibatkan kebijakan kelahiran, tetapi juga mengatasi tantangan besar dalam hal teknologi, pengelolaan sumber daya manusia, dan sistem kesejahteraan sosial. Hanya waktu yang akan menjawab apakah mereka bisa menemukan jalan keluar dari krisis populasi yang semakin mendalam.
(Redaksi)