Jumat, 5 Juli 2024

Sosok Inspiratif

Membaca Soe Hok Gie, Sang Pengkritik Soekarno dan Perjalanan Terakhir Menuju Puncak Gunung Semeru

Mati di Ketinggian 3676 mdpl, 16 Desember 1969

Kamis, 16 Desember 2021 17:25

Monumen Soe Hok Gie. Membaca Soe Hok Gie, Sang Pengkritik Soekarno dan perjalanan terakhir menuju puncak Mahameru 16 Desember 1969. (Dok. Mapala UI)

Oleh karena itulah, Gie terus bersuara agar rakyat tidak menyerah dan apatis terhadap pemerintahan.

Tak segan-segan, Gie pun seringkali menyebut nama seseorang atau pelaku yang terlibat.

Rektor UI sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1983-1985, Nugroho Notosusanto menyebut bahwa Gie adalah sosok yang mengerikan karena ia maju lurus dengan prinsip-prisipnya dan seringkali bentrok karena dianggap tidak taktis.

Hal itu sebagaimana dikemukakannya di Harian Kompas, 26 Juni 1983.

Mengutip Harian Kompas, 5 Juli 2970, Gie ditetapkan sebagai pemenang Hadiah Kehormatan Zakse.

Penetapan Gie sebagai peraih hadiah kehormatan dilihat dari karya-karya Gie yang dipublikasikan di media massa pada 1967-1970, serta pengabdiannya pada kehidupan kemahasiswaan, bangsa, dan negara.

Perjalanan Terakhir ke Atap Pulau Jawa: Mahameru

Hari ini 51 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 16 Desember 1969, seorang mahasiswa dan aktivis Indonesia di era pemerintah Soekarno dan Soeharto, Soe Hok Gie meninggal dunia di kawasan puncak Gunung Semeru (3.676 mdpl), Jawa Timur.

Soe meninggal di gunung tertinggi Pulau Jawa karena menghirup gas beracun, beberapa jam sebelum genap berusia 27 tahun.

Dikutip dari Kompas.com (22/9/2019), Soe Hok Gie berangkat menunju Gunung Semeru pada 12 Desember 1969.

Bersama temannya, Aristides Katoppo, Herman Onesimus Lantang, Abdurrachman, Anton Wijana, Rudy Badil, dan dua anak didik Herman Idhan Dhanvantari Lubis serta Freddy Lodewijk Lasut, Hok Gie berangkat dari Stasiun Gambir pukul 07.00 ke Stasiun Gubeng Surabaya.

Pendakian kali ini istimewa bagi Hok Gie, lantaran pada 17 Desember ia akan merayakan ulang tahun ke-27.

Tim berbekal buku terbitan Belanda tahun 1930 tentang panduan naik semeru.

Mereka menggunakan jalur yang tak umum.

Jika biasanya jalur yang dipakai penduduk dengan menggunakan Desa Ranupane dengan jalur landai, tim mendaki melalui Kali Amprong mengikuti pematang Gunung Ayek Ayek, sampai turun ke arah Oro Oro Ombo.

Perjalanan pun dilanjutkan. Sampai di Arcopodo, mereka membentangkan ponco (jas hujan dari militer) untuk jadi tempat perlindungan, meninggalkan tas dan tenda.

Mereka membawa minuman untuk bekal menuju puncak.

Halaman 
Tag berita:
IDEhabitat