Konsepsi-konsepsi yang diutarakan Ben Anderson tersebut memiliki konsekuensi terhadap beberapa hal. Berbeda dengan tradisi Barat yang lebih menitikberatkan kepada bagaimana menggunakan kekuasaan itu, konsepsi kekuasaan Jawa tradisional lebih melihat bagaimana menghimpun kekuasaan. Ini dilakukan dengan praktik-praktik yoga dan bertapa dengan sangat keras, seperti tidak tidur, tidak melakukan hubungan seksual, berpuasa, dan berbagai praktik lainnya.
Hal tersebut ditujukan bukan untuk menyiksa diri namun semata-mata untuk memperoleh kekuasaan. Untuk memperbesar kekuasaan, penguasa juga harus mengumpulkan benda-benda ataupun orang yang dianggap mempunyai dan mengandung kekuasaan, seperti keris, tombak, kereta, atau manusia seperti orang kerdil, ahli nujum, dan berbagai manusia sakti lainnya.
Ben menjelaskan bahwa fokus raja jawa adalah mengumpulkan kekuasaan, bukan menggunakannya untuk, misalnya mengubah keadaan. Pengumpulan kekuasaan ini bisa dilihat dari bagaimana mereka melakukan berbagai ritus simbolik seperti bertapa, berpuasa, atau mengoleksi benda-benda keramat.
Kekuasaan dipandang sebagai sesuatu yang mesti diraih dan dipertahankan. Lebih jauh, kekuasaan harus terpusat dan tidak boleh terpencar. Misalnya, ketika Sukarno menyatukan 3 kekuatan, besar nasionalis, agamis, dan komunis menjadi Nasakom.
Menurut Ben, langkah politik ini adalah manifestasi dari politik raja Jawa yang ingin memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri.
Salah satu penggambaran Ben terhadap politik Jawa tradisional, yang dilihat dari Sukarno yang gemar flexing keberhasilannya ngumpulin kekuasaan. Corak ini diperkuat dengan kegandrungan mereka terhadap pertunjukkan wayang di istana dengan plot yang menunjukkan kekuatan politiknya. Ini bukan sekedar hiburan, melainkan upaya untuk "menyegarkan" kepatuhan penontonnya.
Ada pula konsep wahyu dalam kekuasaan Jawa, semacam cahaya ilahi yang turun ke pemimpin yang tepat, yaitu pemimpin yang dianggap pengikutnya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan genting. Ben mencontohkan seperti, Ken Angrok, Panembahan Senapati, Sukarno, dan Soeharto.