Sekilas soal AI, setidaknya ada tiga jenis. AI Rule-Based yang beroperasi berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan programer, AI Machine Learning yang bisa belajar sendiri tanpa perlu diberi instruksi langsung, dan AI Deep Learning yang menggunakan jaringan saraf mirip manusia untuk memproses data.
Bayangkan, AI menjadi robot demokrasi untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Bisa jadi, itu adalah masa depan utopia bak khayalan yang terlalu indah. Bisa jadi pula, itu adalah distopia yang buruk dan menakutkan, mirip film-film fiksi soal ras manusia yang dikuasai peradaban robot. Tapi yang jelas, AI bukan fiksi.
Bahkan, dunia kewartawanan sudah mulai mengadopsi AI, berita gempa yang dimuat di LA Times atau kabar skor pertandingan olahraga bisa dibikin menggunakan kecerdasan buatan. Jangan tanya soal seni (dalam artian longgar), AI dengan algoritma canggihnya juga bisa melukis. Bisa pula, AI membikin puisi. Tampaknya, tinggal tunggu waktu saja bahwa AI bakal masuk ke dunia politik secara merata.
Dilansir CNBC pada 27 Mei 2021, survei di Barat dan China menunjukkan banyak orang mulai setuju dengan ide agar kursi anggota DPR diberikan saja ke AI. Survei ini digelar oleh IE University's Center for Governance of Change terhadap 2.769 responden dari 11 negara.
Sebanyak 51% warga Eropa setuju dengan pembaharuan semacam itu. 75% responden di China mendukung ide penggantian anggota DPR dengan AI. Di Amerika Serikat, 60% responden tidak setuju bila anggota DPR diganti dengan AI.
Penjelasan mengenai fenomena orang-orang mulai tertarik dengan ide penggantian anggota DPR dengan AI dilandasi oleh kekecewaan publik terhadap para politikus di negara masing-masing. Mereka tidak percaya lagi dengan pemerintahan demokrasi seperti yang selama ini dijalankan manusia. Kekecewaan terhadap politik tersebut menjadi 'zeitgeist' responden yang mendukung 'robot demokrasi' menggantikan manusia di parlemen.