Kamis, 5 Desember 2024

Sosok Dokter Perempuan dan Pejuang Bernama Julie Sulianti Saroso

Rabu, 10 Mei 2023 13:16

POTRET - Profil sosok Sulianti Saroso(rspi-suliantisaroso.com)

IDENESIA.CO - Sosok dokter perempuan bernama Julie Sulianti Saroso diabadikan pada Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof. Dr. Sulianti Saroso

Rumah Sakit in  menjadi tempat perawatan intensif pasien Covid-19 di Indonesia.

Dilansir dari portal resmi Provinsi DKI Jakarta, perempuan kelahiran Karangasem, Bali tanggal 10 Mei 1917 memiliki nama panjang Julie Sulianti Saroso

Nama Julie Sulianti Saroso diabadikan dalam penamaan RS Penyakit Infeksi (RSPI) Prof Dr Sulianti Saroso, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Sulianti semula menempuh pendidikan dokter di sekolah tinggi kedokteran, Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (GHS/GH te Batavia). Ia ingin jadi dokter seperti ayahnya, dikutip dari laman Google.

Sekolah Sulianti dibuka saat ia berusia 10 tahun pada 1927. Ini lembaga pendidikan tinggi ketiga di Hindia Belanda setelah kampus THS Bandung pada 1920, cikal bakal Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di GHS, lulusannya dapat berpraktik baik di Hindia Belanda maupun Belanda. Ini berbeda dengan lulusan Sekolah Dokter Jawa STOVIA, yang dapat berpraktik di Hindia Belanda tetapi harus lanjut sekolah untuk dapat hak praktik seperti dokter Belanda.

Perkuliahan Sulianti di GHS mirip dengan fakultas kedokteran di Belanda. Ia belajar dari dasar seperti kimia, fisika, zoologi, botani, kemudian anatomi, patologi umum, dan farmakologi umum.

Masa kuliah Sulianti di tahun lebih tinggi juga mempelajari ilmu penyakit dalam, bedah, penyakit kulit dan kelamin, bakteriologi, hingga kedokteran forensik. Seperti dokter zaman ini, ia juga menjalani magang klinik sebagai co-assistant.

Menjadi Dokter dan Pejuang

Tamat dari sekolah kedokteran pada 1942, Sulianti bekerja di Centrale Burgerlijke Hospitaal (CBZ) Jakarta, yang kini jadi RS Umum Pusat Nasional (RSPUN) Dr Cipto Mangunkusomo. Ia bekerja di bagian penyakit dalam.

Sulianti kemudian bekerja di bagian penyakit anak di RS Bethesda Yogyakarta.

Pada 1947, Sulianti ikut delegasi KOWANI ke New Delhi, menghadiri Konferensi Perempuan se-Asia. Di situ, Sulianti dan teman-teman menggalang pengakuan resmi bagi kemerdekaan Indonesia, dikutip dari Indonesia.go.id

Di masa mempertahankan kemerdekaan RI, Sulianti mengupayakan makanan dan obat-obatan di titik-titik gerilya di Demak hingga Yogyakarta.

Ia juga membentuk laskar Wanita Pembantu Perjuangan (WAPP). Aksinya membuat Sulianti ia sempat ditawan Belanda.

Studi di Luar Negeri dan Beasiswa

Sulianti kelak lanjut belajar di Eropa dan Amerika Serikat sejak 1950. Dari studi ini, ia mendapat sejumlah sertifikasi kesehatan publik.

Kelahiran Karangasem, Bali ini kelak meraih beasiswa World Health Organization (WHO) untuk belajar sistem layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di penjuru Eropa, terutama Inggris.

Ia juga meraih gelar Doctor of Public Health (DrPH) di Tulane University School of Public Health & Tropical Medicine, New Orleans, AS. Disertasinya tentang epidemiologi bakteri E coli.

Berantas Penyakit Menular

Sulianti kelak mengembangkan klinik karantina di Pelabuhan Tanjung Priok sebagai RS Penyakit Menular dan risetnya saat menjadi Dirjen Pencegahan, Pemberantasan, dan Pembasmian Penyakit Menular pada 1967 sekaligus Direktur Lembaga Riset Kesehatan Nasional.

Di samping observasi di RS karantina, ia membangun pos kesehatan di berbagai titik.

Berdasarkan observasi lapangan, timnya melahirkan rekomendasi vaksinasi massal, vaksinasi reguler untuk anak usia dini, pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, produksi oralit untuk korban dehidrasi diare, dan perencanaan dan pengendalian kehamilan.

Perannya kelak diganjar penghargaan pembasmian penyakit cacar di dunia oleh WHO.

Sulianti kelak menjadi presiden perempuan kedua di World Health Assembly dan pertama di Indonesia. Ia bergerak di World Health Organization's Expert Committee on Maternal and Child Health, the UN Commission on Community Development in African Countries, hingga Indonesian Women's National Commission.

Sebagai penghormatan atas jasa-jasanya, nama Sulianti diabadikan di RS penyakit menular di Tanjung Priok itu, yang kini menjadi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso.

Kesehatan untuk Perempuan dan Anak RI

Berbekal ilmunya dari studi dengan beasiswa, Sulianti yang kembali ke Tanah Air pada 1952 bantu mengedukasi dan mengenalkan pengendalian kehamilan dan perencanaan keluarga.

Salah satu perjuangannya yaitu mengenalkan keluarga berencana dengan dua anak cukup. Saat itu, konsep ini dinilai tabu di tengah masyarakat.

Namun, ia mendorong adanya KB karena tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan.

Karena itu pada September 1952, ia menganjurkan ibu untuk melaksanakannya, dikutip dari Dampak Globalisasi Informasi dan Komunikasi terhadap Kehidupan Sosial Budaya Generasi Muda di Kelurahan Cililitan, DKI Jakarta oleh Nasir.

Ia lalu bergerak di Kementerian Kesehatan RI untuk meningkatkan akses kesehatan yang setara untuk perempuan, anak-anak, dan warga di wilayah pelosok.

Bersama sejumlah aktivis perempuan, Sulianti menginisiasi klinik swasta yang melayani KB di berbagai kota. Ia juga membangun pos layanan (posyan) untuk ibu-anak sehat dan bahagia.

Bagi dr Sul, begitu ia disapa, titik berat usaha kesehatan masyarakat adalah pada upaya preventif, seperti dikutip dari Sejarah Lahirnya Promosi Kesehatan melalui Piagam Ottawa dan Sejarah Promkes Kemenkes oleh Ferizal.

Ia memilih meneliti dan merancang kebijakan kesehatan ketimbang jadi dokter praktik.

Ilmu Sulianti kelak turut dituangkannya lewat pendidikan formal dengan mengajar di Universitas Airlangga pada 1969. Di kampus, ia mendidik generasi penerusnya untuk jadi dokter dan tenaga kesehatan yang peduli kesetaraan.

(Redaksi)

Tag berita:
IDEhabitat