Tapi yang kuyakini, tangisan pedih itu bukan di ukur dari seberapa kencangnya teriakan, seberapa derasnya air mata yang mengucur, seberapa hebatnya kita terisak.
Diam, mencoba untuk tetap menegakan kepalanya lurus ke depan.
Itulah cara menangis yang paling mengerikan, dan wanita yang kucintai itu tengah melakukan hal itu.
Aku tahu bagaimana tangis kesakitan yang membanjiri hatinya, kepedihan bak badai yang menghancurkan setiap relung batang tubuhnya, ketakutan yang menyelimuti tubuh mungilnya.
Aku tahu karena aku miliknya, dan ia dalah milikku.
“Mau berapa lama lagi kau simpan! Mau sampai kapan kau sembunyikan! Sampaikanlah,” ucapku sama namun berbeda, lemah dan lirih.
“Aku baru saja dari dokter Irfan, teman lamaku. Maaf, ternyata aku begitu lemah, sayang. Aku belum cukup menjadi wanita tangguh dan terkuatmu,” balasnya lirih.
Sontak, tubuhku bergetar bibirku pucat, dunia seperti berputar cepat memori masa lalu kembali terngiang tentang konsep hidup, konsep kebahagian, prinsip hidup yang kuagungkan.
Kuselami betapa bodohnya aku sebagai lelaki.
Ia bangkit dari kursinya, mengambil sepenggal tanganku.
Kemudian menggelosor di lantai lalu menaruh kepalanya diatas kaki kananku. Kemudian ia berbicara tanpa menatapku.
“Aku hanya tidak ingin kau khawatir, bahkan aku juga tidak ingin kau sampai mengetahuinya.
Agar kau bisa bekerja dengan baik dan fokus, membangun istana kayu yang kita impikan ini.
Kau adalah kebanggaanku, melihatmu membangun istana ini dengan giat merupakan satu-satunya kebahagian terpenting dalam hidupku, aku tidak ingin merusaknya, aku tidak ingin menghancurkannya.
Biarkanlah di sisa hidupku, aku hanya ingin melihat kebahagian yang kita impikan berdua.
Tapi hari ini aku kalah, sayang. Seberapa hebat aku menyembunyikannya, aku yakin kau pasti mengetahuinya sudah.
Aku tahu, karena aku milikmu. Kau memang sutradara terhebatku, tapi kali ini saja aku mohon sebagai aktormu yang nakal.
Jangan meledak lagi, biarkan aku menikmati panggung ini dengan khidmat.
Karena kau sudah menatanya dengan amat baik dan sempurna untuk kita.
Ini sudah lebih dari cukup, tidak akan ada penyesalan barang sedikit di hatiku hidup bersamamu.
Yang perlu kau tahu, kamu adalah satu-satunya lelaki telah membuat aku tahu arti dari sebuah kebahagiaan.
Tidak apa menangislah, sayang. Aku juga rindu air matamu, sudah lama tak kulihat,” tutupnya sambil sedari tadi mengelus dengkulku dengan jari telunjuknya yang halus.
Sungguh, aku ingin teriak sekencangnya, menangis sekerasnya, mengeluarkan kepedihan dan kekalahanku sebagai lelaki yang tak berdaya.
Namun tak bisa. Kelembutan hatinya, mendamaikan segalanya.
Semakin aku paksa untuk menumpahkannya, agar ia tahu betapa aku menyadari kekalahanku, semakin hal tersebut urung tersampaikan.
Tenang aku singkap rambut dan kepalanya, kutuntun tubuhnya berdiri perlahan.
Kurapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu kugenggam tangannya damai.
“Karena aku masih jadi sutradaramu, pertunjukan ini masih belum selesai, mari kita lanjutkan. Seberapa cepat atau seberapa jauh lagi lakon kita berdua, kali ini tidak menjadi penting. Cukup aku tahu, kamu dan aku bermain dengan bahagia,” uraiku sembari mencium keningnya.
Namun, seketika pintu istana kami terbuka perlahan.
“Mah, ayo makan malam. Putra lapar nih,” tutur seorang anak gagah memecahkan romantisme saat itu.
Kami ; Gonzalo Fernandez dan Siti Bilqis Aisyah tersentak kaget kemudian saling berpelukan erat.
Kami tidak bisa berdusta, air mata kami tidak berhenti mengalir, deras mengucur, terus membasahi tubuh dan jatuh ke bumi tiada henti. (redaksi)