Jumat, 22 November 2024

Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang pada 1997-1998 Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru

Kamis, 5 Januari 2023 21:25

POTRET - Mural tentang Wiji Thukul di salah satu sudut Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan pada 2014 silam. / Foto: CNN Indonesia/Basuki Rahmat Nugroho

Salah satunya, dalam sebuah mimbar perayaan hari kemerdekaan 1982, Widji dalam puisinya menyindir kemerdekaan hanya bisa dirasakan segelintir orang saja di negeri ini.

Dalam puisi berjudul Kemerdekaan itu, Wiji bilang: "Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai."

Poster film "Istirahatlah Kata-kata" tentang kisah aktivis sekaligus penyair Wiji Thukul saat pemutarannya di bioskop di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 22 Januari 2017. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Sebagai penyair, Wiji Thukul mendapatkan hasratnya akan kata-kata itu bukan dari kemapanan bacaan buku di tengah keluarga berada. Dia justru lahir sulung dari ayah seorang tukang becak, dan ibu yang kadang membantu mencari nafkah dengan berdagang ayam bumbu.

Bahkan, Wiji harus merelakan dunia pendidikan formalnya berhenti di tengah jalan saat sekolah menengah, mengalah agar biaya sekolah buat adik-adiknya tercukupi. Salah satu adiknya adalah Wahyu Susilo yang kini bergerak di bidang perlindungan buruh atau tenaga kerja migran bersama Migrant Care.

Dikutip dari berbagai sumber, Wiji diketahui mulai gemar berdeklamasi sejak sekolah dasar, dan makin terasah di tingkat SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah mengamen puisi keluar masuk kampung dan kota.

Jejak perlawanan Widji sebagai aktivis dan penyair banyak terlihat. Sempat dalam suatu aksi ia ditangkap serdadu karena dianggap sebagai dalang dan diberi hadiah pukulan. Dalam penangkapan itulah Wiji merasakan pukulan bertubi-tubi dari militer sehingga satu di antaranya meninggalkan bekas pada bagian mata kanannya.

Kekerasan itu membekas bukan hanya di tubuh, tetapi juga batin Wiji. Hingga akhirnya dia mencurahkannnya dalam Maklumat Penyair yang penggalannya sebagai berikut:

Pernah Bibir pecah ditinju
Tulang rusuk jadi mainan tumit sepatu
Tapi tak bisa mereka meremuk: kata-kataku!

Adik dari Wiji Thukul, Wahyu Susilo membacakan puisi Widji Thukul saat Pembacaan Puisi Merawat Ingatan, Menolak Lupa!! di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 24 Januari 2017. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Lihat juga:Program Belajar di Rumah TVRI Tayangkan Film Wiji Thukul
Sebelum aktif bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menjadi simbol perlawanan melalui jalur politik legal, Wiji pernah menjadi pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Jakker adalah organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat.

Di struktural PRD, Thukul menjabat sebagai Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan partai.

Para aktivis PRD dan jaringan prodemokrasi lebih luas mendesak agar Soeharto menghapuskan paket 5 Undang-undang Politik, UU Anti-Subversi, UU Pokok Pers, dan Dwi Fungsi ABRI.

Gong pemberangusan PRD oleh rezim Orde Baru terjadi setelah penyerangan Kantor PDI yang berada di kawasan Diponegoro, 27 Juli 1996

Halaman 
Tag berita:
IDEhabitat