Jumat, 22 November 2024

Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang pada 1997-1998 Jelang Tumbangnya Rezim Orde Baru

Kamis, 5 Januari 2023 21:25

POTRET - Mural tentang Wiji Thukul di salah satu sudut Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan pada 2014 silam. / Foto: CNN Indonesia/Basuki Rahmat Nugroho

IDENESIA.CO -  Bait awal puisi berjudul Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu karya aktivis buruh cum penyair, Wiji Thukul.

Apa guna punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu

Wiji yang lahir pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, tumbuh dewasa dan sempat bekerja sebagai buruh di samping menulis dan mendeklamasikan puisi-puisinya.

Wiji adalah satu dari 13 orang hilang pada 1997-1998 menjelang tumbangnya rezim Orde Baru. Kiprah Wiji Thukul ,yang tak diketahui rimbanya hingga kini sejak dikabarkan diculik Tim Mawar, difilmkan dengan judul 'Istirahatlah Kata-kata'.

Film karya sutradara Yosep Anggi Noen yang diproduksi pada 2017 itu bakal ditayangkan TVRI sebagai bagian dari program Belajar dari Rumah (BdR) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada malam ini.

Berdasarkan jadwal program BdR dikutip dari situs resmi Kemendikbud, film Istirahatlah Kata-kata bakal tayang malam ini, Selasa (16/6) pukul 21.30 sampai 23.30 WIB.

Sebagai buruh, Wiji bukan hanya bekerja tetapi juga berjuang untuk kesejahteraan rekan-rekannya sesama kelas pekerja.

Itu pula yang akhirnya membuat puisi-puisi buah karya Wiji Thukul penuh satire mengkritik rezim penguasa yang membungkam dan membuat rakyat menderita.

Kata-kata puitisnya kerap menjadi penyemangat para aktivis ketika memperjuangkan kebenaran sejak perlawanan atas rezim Orde Baru yang tumbang pada 1998 silam setelah sekitar 32 tahun berkuasa.

Salah satunya pada puisi berjudul Peringatan yang nukilannya berikut ini:

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan! 

Perjuangannya sebagai aktivis itulah yang kemudian membuat Widji menjadi 'musuh rezim Orde Baru'.

Namanya identik dengan simbol perlawanan akar rumput terhadap penguasa Orde Baru, Soeharto, terutama lewat puisi dan syair-syairnya di banyak surat kabar dan mimbar-mimbar bebas.

Salah satunya, dalam sebuah mimbar perayaan hari kemerdekaan 1982, Widji dalam puisinya menyindir kemerdekaan hanya bisa dirasakan segelintir orang saja di negeri ini.

Dalam puisi berjudul Kemerdekaan itu, Wiji bilang: "Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai."

Poster film "Istirahatlah Kata-kata" tentang kisah aktivis sekaligus penyair Wiji Thukul saat pemutarannya di bioskop di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 22 Januari 2017. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

Sebagai penyair, Wiji Thukul mendapatkan hasratnya akan kata-kata itu bukan dari kemapanan bacaan buku di tengah keluarga berada. Dia justru lahir sulung dari ayah seorang tukang becak, dan ibu yang kadang membantu mencari nafkah dengan berdagang ayam bumbu.

Bahkan, Wiji harus merelakan dunia pendidikan formalnya berhenti di tengah jalan saat sekolah menengah, mengalah agar biaya sekolah buat adik-adiknya tercukupi. Salah satu adiknya adalah Wahyu Susilo yang kini bergerak di bidang perlindungan buruh atau tenaga kerja migran bersama Migrant Care.

Dikutip dari berbagai sumber, Wiji diketahui mulai gemar berdeklamasi sejak sekolah dasar, dan makin terasah di tingkat SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah mengamen puisi keluar masuk kampung dan kota.

Jejak perlawanan Widji sebagai aktivis dan penyair banyak terlihat. Sempat dalam suatu aksi ia ditangkap serdadu karena dianggap sebagai dalang dan diberi hadiah pukulan. Dalam penangkapan itulah Wiji merasakan pukulan bertubi-tubi dari militer sehingga satu di antaranya meninggalkan bekas pada bagian mata kanannya.

Kekerasan itu membekas bukan hanya di tubuh, tetapi juga batin Wiji. Hingga akhirnya dia mencurahkannnya dalam Maklumat Penyair yang penggalannya sebagai berikut:

Pernah Bibir pecah ditinju
Tulang rusuk jadi mainan tumit sepatu
Tapi tak bisa mereka meremuk: kata-kataku!

Adik dari Wiji Thukul, Wahyu Susilo membacakan puisi Widji Thukul saat Pembacaan Puisi Merawat Ingatan, Menolak Lupa!! di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 24 Januari 2017. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Lihat juga:Program Belajar di Rumah TVRI Tayangkan Film Wiji Thukul
Sebelum aktif bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menjadi simbol perlawanan melalui jalur politik legal, Wiji pernah menjadi pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Jakker adalah organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui jalur kesenian rakyat.

Di struktural PRD, Thukul menjabat sebagai Ketua Divisi Propaganda dan editor Suluh Pembebasan, suplemen kebudayaan partai.

Para aktivis PRD dan jaringan prodemokrasi lebih luas mendesak agar Soeharto menghapuskan paket 5 Undang-undang Politik, UU Anti-Subversi, UU Pokok Pers, dan Dwi Fungsi ABRI.

Gong pemberangusan PRD oleh rezim Orde Baru terjadi setelah penyerangan Kantor PDI yang berada di kawasan Diponegoro, 27 Juli 1996

Peristiwa yang dikenal dengan akronim Kudatuli (Kerusuhan Dua Tujuh Juli) itu kemudian menjadikan PRD sebagai kambing hitam sehingga para aktivisnya diburu rezim Orba.

Para aktivis PRD kala itu, termasuk Wiji pun terpaksa harus hidup nomaden menghindari kejaran aparat. Bukan hanya di Jawa, tercatat Wiji pernah bersembunyi hingga ke Pontianak, Kalimantan Barat.

Pada Agustus 1996, rumah keluarga Thukul di Solo didatangi kepolisian dan militer wilayah Surakarta. Aparat mengobrak-abrik dan menyita barang milik Wiji seperti buku hingga koleksi kaset. Kabar penggeledahan itu pun membekas dan mengundang kemarahan Wiji yang sedang dalam persembunyian, hingga muncul puisi yang penggalannya sebagai berikut:

Kuterima kabar dari kampung
Rumahku kalian geledah
Buku-bukuku kalian jarah
Tapi aku ucapkan banyak terima kasih
Karena kalian telah memperkenalkan sendiri pada anak-anakku
Kalian telah mengajari anak-anakku membentuk makna kata penindasan sejak dini

Hingga kini, 22 tahun pasca tahun gelap yang menyelimuti negara ini, kabar kejelasan soal kehilangan Wiji Thukul dan 12 lainnya tak mendapat titik terang.

Pemerintah sempat membentuk Panitia Khusus (Pansus) Orang Hilang DPR. Pansus menghasilkan rekomendasi penting terkait kasus 13 orang hilang pada 1997-1998.

Namun, sejumlah janji pemerintah untuk mengungkap kasus tersebut dalam beberapa kali dan lintas rezim selalu berujung gelap. Tidak ada satu pun dari rekomendasi Pansus maupun upaya lainnya yang dijalankan pemerintah, bahkan di bawah pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Mural tentang Wiji Thukul di salah satu sudut Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan pada 2014 silam. (CNN Indonesia/Basuki Rahmat Nugroho)

Pada 1989, Wiji Thukul mempersunting Siti Dyah Sujirah alias Sipon. Buah pernikahan dua sejoli itu pun melahirkan dua anak yakni Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Fajar masih balita ketika Wiji menghilang diduga diculik tim Mawar.

Kini Fitri dan Fajar pun meniti jalan hidupnya masing-masing meski tak terlepas dari warisan sang ayah, yakni Kata-kata.

Fitri menjadi penulis, dan telah menelurkan buku di antaranya antologi Kau Berhasil Jadi Peluru. Sementara itu, Fajar menjadi musisi dan berkiprah bersama grupnya, Merah Bercerita. 

(Redaksi)

 

Tag berita:
IDEhabitat