Sebagaimana sebelum ditetapkannya status houtvesterijen, masyarakat di sekitar hutan Randoeblatoeng secara bebas, memanfaatkan hutan dan kayu jati sebagai keperluan hidup mereka sehari-hari.
Itu juga yang terus dilakukan Samin.
Pemberontakan itu terjadi lantaran status houtvesterijen yang membuat akses rakyat terhadap hutan menjadi sangat terbatas.
"Kebijakan itu membuat petani di sekitarnya tak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hasil hutan," tulis Trisnova.
Restu Trinova menjelaskan kisah tentang awal pemberontakan hingga landasan filosofis yang mendasari adanya gerakan Saminisme.
Tulisannya diangkat dalam Jurnal Filsafat, berjudul Studi Komparasi Saminisme dengan Jean Paul Sartre tentang Kebebasan (Tinjauan Filsafat Sosial), yang terbit pada 2010.
Kondisi semakin diperparah dengan adanya penetapan pajak.
"Para petani sendiri tidak mampu menggarap sawah mereka karena terhalang oleh pajak," imbuhnya.
Beratnya pajak hanya menjadikan petani sebagai petani penggarap.
"Hanya berselang dua tahun setelah Belanda mengeluarkan (kebijakan pemungutan) pajak semacam itu, Samin Surosentiko memulai dakwah ajarannya di Afdeeling Blora," lanjutnya.
Samin mulai melakukan propagandanya untuk menentang praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme yang merugikan rakyat Blora, Randoeblatoeng khususnya.
Layaknya Mahathma Gandhi, Samin juga menyampaikan buah pikirannya kepada segelintir orang terdekatnya.
"Ajaran Samin secara konseptual menempatkan objek keinginan di dalam diri sendiri," ungkap Trisnova.
Pemikirannya melingkupi semua aturan hidup, yang pada dasarnya adalah ajaran untuk 'tidak menginginkan milik orang lain'.
Selain itu, Samin juga mengajarkan hakikat kebebasan manusia.
"Penolakan-penolakan masyarakat Sikep (pengikut Saminisme) terhadap simbol-simbol negara (kolonial Hindia-Belanda), merupakan salah satu bentuk aktualisasi kebebasan manusia," tambahnya.
Samin berupaya menanamkan pemikiran yang menjunjung kebebasan pada pengikutnya.