"Sehingga menjadi cancel culture menjadi cancer culture. Karena pada akhirnya aksi pemboikotan cancel culture ini berubah menjadi kanker bisa membunuh orang yang menjadi korban atau institusi yang menjadi korban pemboikotan karena sering kali hanya berbasis praduga bukan berbasis kebenaran," papar dia.
Hal tersebut menurut Devie sangat berbahaya. Sebab orang yang belum dinyatakan bersalah dan terkena cancel culture dapat kehilangan mata pencaharian hingga nama baiknya yang hancur.
Lanjut Devie, seringkali aktivitas cancel culture di media sosial disertai dengan adanya kekerasan verbal atau bullying. "Sebetulnya cancel culture tidak harus dengan aksi kekerasan. Padahal misalnya unfollow itu bagian dari boikot kalau produk kita enggak mau lagi pakai produk tanpa harus harus mencaci maki. Kalau caci maki itu praktik yang mengerikan," jelas Devie.
Cancel Culture Untuk Menjatuhkan seseorang ?
Sementara itu, pengamat media sosial Abang Edwin Syarif menyatakan cancel culture merupakan sebuah tindakan yang dilakukan masyarakat ketika perilaku atau tindakan seorang tokoh publik atau perusahaan tidak sesuai dengan norma yang ada. Kata dia, setiap orang yang dianggap sebagai tokoh publik akan dihadapkan dengan standar norma yang ada.
Atau para tokoh tersebut dituntut untuk tidak memiliki celah keburukan yang melanggar norma. Ketika hal tersebut terjadi warganet akan menarik dukungannya dengan berbagai tindakan sebagai bentuk pemboikotan.
"Cancel culture tadinya tidak sebesar seperti di media sosial. Tapi begitu ada media sosial itu jadi kaya ada exposure. Jadi makin besar," kata Edwin.