Minggu, 6 Oktober 2024

Program Hilirisasi, Benarkah Untung Besar bagi Indonesia ?

Sabtu, 27 Januari 2024 22:15

POTRET - Hilirisasi contohnya tambang di Batu Bara./ Foto: Istimewa

IDENESIA.CO -  Hilirisasi menjadi program andalan pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kedua. Berkali-kali Jokowi menekankan pentingnya hilirisasi yang diklaim bisa memberi nilai tambah bagi negara. 

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia bahkan sempat menyinggung kunci Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 6-7% adalah lewat hilirisasi. Lantas apa itu hilirisasi?

Program hilirisasi melalui keputusan larangan ekspor komoditas alam nikel dan bauksit dalam bentuk setengah jadi yang saat ini sedang digalakkan pemerintah Indonesia melalui UU No 3/2020 tentang perubahan atas UU No 4/2009 tentang UU Minerba, mendapat tentangan dari Dana Moneter International (IMF).
 
IMF sebagai badan moneter global menunjukkan sikap kontra terhadap kebijakan hilirisasi, meminta pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.

IMF menilai kebijakan hilirisasi perlu mempertimbangkan masalah analisis biaya dan manfaat. Pihaknya mengingatkan agar kebijakan hilirisasi tidak menimbulkan rambatan negatif bagi negara lain.

AS juga mengancam kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) yaitu Undang-Undang yang mencakup penyaluran subsidi senilai USD370 miliar kepada produsen yang menggunakan energi bersih. 
 
Namun, baterai yang mengandung komponen energi bersih dari Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak IRA secara penuh, karena Indonesia belum memiliki Free Trade Agreement (FTA) dengan AS.

Meskipun telah mendapat peringatan keras dari IMF dan sekutunya pemerintah tetap meneruskan tekadnya melanjutkan program Hilirisasi

Indonesia Untung Dengan Adanya Hilirisasi ?  
 
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menegaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor biji nikel yang sudah dilakukan pemerintah sejak 2020 lalu telah berhasil menguntungkan pemerintah 30 miliar USD atau setara dengan 450 triliun rupiah dengan asumsi kurs 15 ribu rupiah per US dolar.

Bahlil menjelaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor biji nikel yang sudah diterapkan sejak 2020 telah berdampak positif pada perekonomian Indonesia.
 
Anggota komisi 7 DPR RI Mulyanto. Ia meminta pemerintah mengevaluasi total program hilirisasi nikel yang berlangsung selama ini. Mulyanto menduga bahwa program ini hanya menguntungkan para investor asing tapi merugikan negara. 

Pasalnya produk smelter berupa MPI ini mendapat banyak insentif mulai dari pembelian biji nikel di bawah harga internasional, bebas pajak PPN, dapat tax holyday, bebas PPH badan, bebas keluar pajak ekspor, kemudahan mendatangkan peralatan mesin atau barang bekas pakai, kemudahan mendatangkan TKA dan lain-lain.
 
Pakar ekonomi Faishal Basri juga mengkritisi kebijakan hilirisasi ini pada realitas di lapangan justru lebih banyak menguntungkan Cina sebagai negara penopangnya.

Hilirisasi nikel yang mencapai ratusan triliun tidak dirasakan masyarakat sepenuhnya sebab hanya menguntungkan pengusaha besar. Bahkan salah satunya devisa hasil ekspor disimpan diluar negeri. 

“Kita hilirisasi malah menopang industrialisasi China,” tambahnya sebagaimana dikutip dari CNBC.

Dibandingkan keuntungan ekonomi yang didapat saat ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan, justru memberikan kerugian yang lebih parah. Pada akhirnya Indonesia hanya gigit jari tidak mendapatkan apa-apa.
 
 AS dan China Saling Berebut Nikel 

Pengamat politik ekonomi Zikra Asril mengatakan, Indonesia menjadi perebutan dua kepentingan negara besar.
 
“Liberalisasi perdagangan sudah meletakkan Indonesia di tengah perebutan komoditas strategis dunia, seperti nikel dalam dua kepentingan negara besar, yakni AS bersama sekutunya dan China bersama BRICS,” tuturnya sebagaimana dikutip dari MNews, Rabu (5/7/2023).
 
Menurutnya investor China, yaitu Tsingshan Holding telah menguasai 90 persen tambang nikel. Strategi Cina agar bisa mendapatkan IUP (izin usaha pertambangan), mereka bekerja sama dengan investor domestik, salah satunya melalui Harita Group. Kekuatan investasi Cina telah membuat Indonesia harus tunduk kepada China.

Indonesia menjadi medan tempur dua kekuatan besar untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia di mana di dalam perut buminya terpendam harta karun luar biasa melimpah. Siapa yang tidak meliriknya dan berusaha untuk memonopolinya. 

Penguasaan atas SDA yang melimpah menjadi sumber energi bagi persiapan peperangan ekonomi dan politik dunia. Dua negara adikuasa ini membutuhkan peladen setia untuk mendukung kesuksesan imperialisme mereka diseluruh dunia.

Tentunya AS melalui IMF dan China melalui ketundukan pemerintah Indonesia yang mau dengan sukarela menyerahkan kekayaan SDA dari hulu sampai hilir.

Jika dilihat keuntungan terbesar hanya ada di dua negara adikuasa, AS dan China walaupun Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah nyatanya pemnafaatan banyak hanya dirasakan kalangan elite termasuk oligarki 

(Redaksi) 

 

Tag berita:
IDEhabitat