Selanjutnya, putri menjatuhkan diri ke laut dan hanyut ditelan ombak.
Melihat kejadian itu, para peserta berusaha mencari putri, namun putri tidak ditemukan.
Setelahnya, muncul binatang-binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak.
Binatang tersebut menyerupai cacing yang amat panjang.
Masyarakat setempat menyebutnya nyale.
Perbuatan putri sangat dikenang masyarakat Lombok.
Oleh karena itu dibuat Upacara Nyale atau Bau Nyale, upacara dilakukan pada Februari hingga Maret, setiap tahun.
Tradisi Bau Nyale di Lombok Dalam pelaksanaan Festival Bau Nyale, masyarakat Suku Sasak (Majelis Sasak Lombok) menggunakan perhitungan Rowot.
Penanggalan Kalender Rowot telah menjadi penentu puncak Bau Nyale sejak dari dulu.
Penanggalan Rowot ini dilatarbelakangi dengan kisah Putri Mandalika.
Dalam kisah tersebut, Putri yang terjun ke laut malah diangkat ke langit menjadi rasi bintang Rowot.
Perhitungan Rowot pada Suku Sasak, yaitu sistem penanggalan yang memperhitungkan pergerakan bulan, bintang (Pleades), dan matahari.
Bau Nyale terdiri dari dua kata, yaitu Bau yang artinya menangkap dan Nyale adalah cacing laut sejenis filumannelida.
Tradisi Bau Nyale adalah tradisi turun temurun masyarakat Lombok Tengah yang telah berusai ratusan tahun.