Konon, seorang warga Kudus bernama Haji Jamahri menggunakan minyak cengkeh di dada dan pinggangnya untuk meredakan sesak dadak.
Kemudian sakitnya berukurang walau belum sembuh total.
Saat itu industri rokok kretek mulai dimiliki kalangan pribumi.
Haji Jamahri kemudian mengunyah cengkeh dan hasilnya jauh lebih baik, dan terlintas untuk menggunakan rempah-rempah sebagai obat.
Ia mencoba merajang halus cengkeh, lalu dioplos dengan tembakau, dan membuat asapnya saat dihisap bisa masuk ke paru-paru.
Cengkeh adalah tanaman yang digilai bangsa Eropa di masa perburuan rempah.
Siapa sangka ternyata cengkeh menjadi ciri khas tersendiri dalam sejarah rokok di Indonesia.
Yunaidi Joepoet Cengkeh adalah tanaman yang digilai bangsa Eropa di masa perburuan rempah.
Siapa sangka ternyata cengkeh menjadi ciri khas tersendiri dalam sejarah rokok di Indonesia.
"Hasilnya menggembirakan, penyakit dada Haji Jamhari menjadi sembuh. Informasi terapi asap tembakau dicampur cengkeh tersebut segera menyebar di sekitaran Kudus. Para tetangga dan kerabat beramai-ramai ingion mencoba rokok mujarab yang menyembuhkan itu, sehingga perusahaan rokok kecil harus didirikan Haji Jamhari," tulis Sunaryo.
Selanjutnya banyak pula kisah-kisah industri rokok yang berkembang.
Beberapa menggunakan istilah buah-buahan dan rempah yang ternyata menjual di masyarakat awal abad ke-20, seperti Delima, Mrico, dan Jangkar Duren.
Rokok sebelum yang kita kenal ternyata menggunakan pembungkus dari kulit jagung kering (klobot).
Kertas pembungkus baru muncul pada 1928 yang perlahan mulai menggeser klobot.
Meski sudah marak rokok dengan bungkus kertas, ternyata klobot masih banyak diproduksi oleh industri kretek hingga saat ini.
Rokok kretek terus mencoba bertahan di Hindia Belanda hingga saat ini.
Berbagai cara untuk tetap lestari, termasuk penerapan cukai yang sangat tinggi pernah diberlakukan dari industri rokok asal Inggris-Amerika British American Tobacco yang mulai mendirikan pabrik di Cirebon (1925) dan (1928). (redaksi)