Ancaman yang paling mungkin bagi peradaban modern adalah letusan besar dari banyaknya gunung api di dunia.
Setiap 100.000 tahun atau lebih, di suatu tempat di Bumi, sebuah kaldera berdiameter hingga 50 kilometer runtuh dan dengan keras mengeluarkan tumpukan magma yang sudah terakumulasi.
Supervolcano yang dihasilkan tidak dapat dihentikan dan sangat merusak. Salah satu letusan monster tersebut yaitu letusan besar Gunung Toba di Indonesia pada 74.000 tahun yang lalu.
Letusan Gunung Toba dipercaya telah memusnahkan sebagian besar manusia di Bumi, menyebabkan hambatan genetik.
Menurut konvensi geologis, gunung api super adalah gunung api yang menghasilkan letusan eksplosif lebih dari 450 kilometer kubik magma.
Jika dibandingkan, volume magma supervolcano kira-kira 50 kali lebih banyak daripada letusan Gunung Tambora di Indonesia pada tahun 1815 dan 500 kali lebih banyak daripada letusan Gunung Pinatubo Filipina pada tahun 1991.
Jika terjadi letusan lagi, manusia dan apapun dalam radius seratus kilometer atau lebih akan terbakar, dan abu akan menyelimuti benua. Abu ini, kendati setebal beberapa milimeter saja, dapat membunuh tanaman dan dapat membuat tanah tidak dapat digunakan selama beberapa dekade.
"Abu juga dapat menghancurkan bangunan, persediaan air kotor, menyumbat elektronik, pesawat terbang, dan mengiritasi paru-paru," kata Susanna Jenkins, ahli vulkanologi di University of Bristol di Inggris.
Selain itu, letusan supervolcano juga akan menjadi efek pada iklim global, yang akan menyerupai dampak asteroid besar.
Aerosol sulfat yang disuntikkan ke stratosfer karena letusan gunung api ini dapat menurunkan suhu di sebagian besar Bumi sebesar 5°C hingga 10°C hingga satu dekade, menghancurkan pertanian global.
Tantangan bagi para ilmuwan terkait ini adalah mengetahui indikator mana yang menandakan letusan dahsyat, bukan yang kecil atau tidak sama sekali.
"Untuk saat ini, taruhan terbaik mereka adalah terus mempelajari saluran air yang memberi makan gunung berapi dan memeras informasi sebanyak mungkin dari letusan yang lebih kecil di masa depan sebelum supervolcano berikutnya erupsi," tutur Hazel Rymer, ahli vulkanologi di The Open University di Milton Keynes, Inggris.
(Redaksi)